Surabaya (suararakyatjatim) – Sri Mulyani Istiqoma (43) warga Siwalankerto Tengah, Surabaya mengeluhkan kesulitan mengurus santunan kematian atas suaminya yang meninggal positif covid-19. Saat ini ia tengah berjuang memenuhi kelengkapan persyaratan program santunan kematian dari Kementrian Sosial (Kemensos) sebesar Rp. 15 juta tersebut.
Namun hingga hari ini (10 Oktober 2020), Sri Mulyani belum juga mendapatkan haknya terhambat akibat Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Surabaya tidak mau menerbitkan surat kematian karena Almarhum suaminya tak dimakamkan di TPU Keputih atau Babat Jerawat.
“Persyaratan yang dibutuhkan sudah lengkap. Namun Dinkes tidak mau mengeluarkan surat kematian karena suami saya dimakamkan di makam kampung,” kata Reni.
Menindaklanjuti hal tersebut, Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya, Reni Astuti menemui Sri Mulyani di kediamannya.
“Jadi, ibu ini (Sri Mulyani) Almarhum suaminya meninggal pada tanggal 3 Juli 2020. Dalam surat keterangan kematian yang dikeluarkan RS Swasta di Surabaya Timur menyebutkan bahwa Almarhum dirawat atas diagnosa PDP Covid-19. Hasil rapid reaktif dan gejala-gejala lainnya yang mengarah pada covid-19. Almarhum sudah di swab sebelum meninggal, namun hasilnya belum keluar,” jelas Reni.
Reni melanjutkan, karena saat meninggal belum ada hasil positif swab, keluarga meminta agar Almarhum tidak dimakamkan di TPU Babat Jerawat atau Keputih tetapi di pemakaman kampung. Atas izin pengurus kampung, pemakaman dilakukan di TPU kampung dengan protokol covid. Esok harinya setelah dimakamkan, tanggal 4 Juli 2020 hasil SWAB nya keluar dan Almarhum dinyatakan positif.
“Bu Sri Mulyani ini diberitahu oleh teman almarhum suaminya untuk mengurus santunan kematian. Ketika mengupayakan hak nya ini, terkendala akibat Dinkes tak mau mengeluarkan surat kematian covid,” terang Reni.
Sebelumnya, politisi PKS ini sering mengingatkan Pemkot agar segera mendata warga yang meninggal karena covid untuk diajukan santunan ke Kemensos. Syarat yang disebutkan dalam SE No. 427/3.2/BS.01.02/06/2020 yang ditujukan pada Kepala Dinas Provinsi adalah meninggal disebabkan terinfeksi covid-19 yang dinyatakan oleh rumah sakit/puskesmas atau dinas kesehatan.
“Itu saja syaratnya. Namun hingga hari ini Dinkes belum mau (menerbitkan surat kematian) dengan alasan karena dimakamkan di kampung. Dasarnya katanya Perwali,” lanjut Reni.
“Saya meminta kepada Dinkes dan Pemerintah kota untuk memberikan kemudahan. Nyatanya, jelas-jelas hasil Swab nya positif. Dinkes silahkan koordinasi dengan rumah sakit yang menangani,” imbuhnya.
Perempuan alumni ITS ini menekankan agar Dinkes lebih mengedepankan aspek kemanusiaan.
“Ada warga yang berduka. Program dari pemerintah pusat yang bersunber dari APBN ini semangatnya adalah bentuk perhatian kepada keluarga yang ditinggalkan. Tanda dukacita. Walaupun tentu besaran santunan sebesar Rp. 15 juta ini tak mampu menukar kesedihan keluarga yang ditinggalkan,” ujarnya.
Reni meminta agar warga yang mengurus santunan kematian covid agar segera terlayani, terfasilitasi oleh pemkot.
“Jangan sampai gara-gara alasan perwali, warga kesulitan. Saya juga sudah cari di Perwali, tidak ada syarat yang menyebutkan surat keterangan kematian dari Dinkes harus dimakamkan di TPU tertentu. Namanya surat kematian ya yang bersangkutan meninggal karena covid atau bukan. Tidak ada hubungannya dengan dimakamkan dimana. yang dimakamkan di Babat Jerawat dan Keputih pun ada juga yang hasil Swab nya negatif,” tegasnya.
Oleh karena itu, mantan anggota komisi D tersebut meminta agar Dinkes dapat mengakomodir kebutuhan warga.
“Dinkes jangan terlalu kaku. Saya kira pijakan di Perwali juga tidak ada, jadi jika alasannya karena Perwali itu tidak tepat,” katanya.
“Kita tentu tidak ingin bu Sri Mulyani ini harus pergi ke Jakarta untuk mengurus santunan di kementrian sosial sebagaimana kasus bu Yaidah yang mendatangi kementrian dalam negeri,” pungkasnya.(why)