Surabaya (suararakyatjatim) – Beredar surat kontrak politik pelepasan surat ijo atau izin pemakaian tanah (IPT) di Surabaya yang ditandatangani Eri Cahyadi dan Armuji. Dalam surat itu tertera nama Eri Cahyadi dengan kedudukan sebagai wali kota Surabaya, dan tertulis nama Armuji sebagai wakil wali kota.
Padahal keduanya masih berstatus pasangan calon (paslon) dalam Pilwali Surabaya 2020. Wali Kota masih dijabat Tri Rismaharini. Aneh bukan?
Surat yang beredar itu tertanggal 18 November 2020 lengkap dengan tanda tangan Eri Cahyadi dan Armuji di atas materai Rp 6000.
Berikut isi lengkap surat kotrak politik, bahwa Eri Cahyadi dan Armuji berjanji kepada warga Surabaya akan:
“Melepas tanah Surat Ijo/Izin Pemakaian Tanah (IPT) yang digunakan sebagai hunian, fasilitas sosial, dan fasilitas umum, kepada masyarakat melalui negara sesuai dengan ketentuan PP No 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah. Kami menjamin masyarakat akan mendapatkan kepastian hukum akan kepemilikan tanahnya”.
Warga surat ijo tidak mau mempercayai kontrak politik Eri Cahyadi-Armuji itu. Sebelumnya, sebagaimana sikap Wali Kota Tri Rismaharini yang mendukung pasangan ini, mereka menegaskan surat ijo tidak bisa dilepas. Mereka berdalih, pelepasan aset tanah surat ijo akan menimbulkan implikasi hukum di kemudian hari.
Risma sudah berjanji menyelesaikan masalah surat ijo sejak 2010. Sejak kali pertama berkampanye untuk periode jabatan wali kota perdananya. Saat kampanye 2015, ia kembali menegaskan akan membebaskan surat ijo secara gratis kepada warga.
”Pada periode kedua, saya sudah tahu bagaimana menyelesaikan masalah surat ijo, saya akan membebaskan tanpa biaya, gratis,” demikian janji Risma saat kampanye untuk periode keduanya.
Nyatanya, sampai periode kepemimpinannya berakhir, Risma tidak pernah memenuhi janjinya. Bahkan, retribusi surat ijo dari tahun ke tahun semakin tinggi. Mencekik warga yang tinggal di tanah surat ijo.
Saat kepercayaan warga surat ijo kepada Risma sudah mencapai titik nadir, kini giliran Eri-Armuji yang diusung Risma mengumbar janji serupa. Untuk menggaet suara warga surat ijo, pasangan yang dikenal sebagai Erji itu sampai membuat kontrak politik yang ditandatangani mereka berdua.
”Dalam kontrak politiknya, Eri-Armuji menjanjikan penyelesaian surat ijo melalui mekanisme Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 2014. Bukannya menyelesaikan, itu malah akan bikin tambah ruwet,” kata Mohammad Faried, ketua dewan pengawas P2TSIS, salah satu perkumpulan warga surat ijo Surabaya.
Jika Eri-Armuji mengacu pada PP 27 tahun 2014 itu, artinya sikap mereka sama dengan Pemkot saat ini. Bahwa melihat permasalahan surat ijo dari aspek legal formal. Mereka tidak melihat aspek material dan sejarah.
”Poin utama dari permasalahan surat ijo adalah, cara Pemkot Surabaya mendapatkan hak pengelolaan lahan (HPL) yang tidak sah dan cacat hukum. HPL itulah yang saat ini mencakup tanah-tanah yang saat ini bestatus surat ijo,” jelas Faried.
Faried menjelaskan, kalau ditarik ke belakang, permasalahan surat ijo muncul karena pemerintah kota Surabaya tidak menjalankan agreement antara Pemprov Jatim dengan Pemkot tertanggal 20 Januari 1970. Dalam dokumen itu, disebutkan, bahwa tanah negara eks tanah partikelir dapat diajukan hak milik oleh penghuninya. Ternyata, perintah itu tidak dijalankan. Malahan, pemkot mengajukan HPL. Lalu terbitlah sejumlah Surat Keputusan HPL (SKHPL). Di antaranya No. 53, No. 54, dan No. 55 tahun 1997. Tiga SKHPL itu mencakup mayoritas tanah surat ijo saat ini.
Menurut Faried, SKHPL itu cacat hukum. Karena ada beberapa diktum di antara sebelas diktum yang dilanggar.
”Pada diktum kedua diatur, bahwa penghuni (atau pihak ketiga) yang berada di kawasan HPL, setelah membayar uang pengganti untuk negara, terbit HGB di atas HPL. Faktanya, bukan HGB yang diterima tapi IPT (retribusi surat ijo), dan uang yang dibayarkan masuk ke daerah bukan ke negara,” jelas Faried.
Pemkot meminta para penghuni surat ijo untuk membayar retribusi HGB di atas HPL yang nilainya begitu besar. Pembayaran itu masuk kas pemkot, bukan ke negara. ”Selain itu, ada lagi pembayaran partisipasi pembangunan yang nilainya juga begitu tinggi. Kalau seperti ini, beban yang ditanggung warga lebih berat dari zaman penjajahan Belanda, karena waktu itu hanya diwajibkan membayar satu jenis pajak. Sekarang tiga termasuk PBB,” beber Faried.
Masih dalam SKHPL itu, Faried menjelaskan bahwa pada diktum kelima diatur bahwa, apabila pemkot tidak melaksanakan pasal-pasal tersebut, maka SKHPL batal demi hukum.
Pada diktum keenam diatur, apabila di dalam kawasan HPL ada penghuni dan penggarab oleh masyarakat sebelum SK tersebut terbit, maka wali kota wajib menyelesaikannya terlebih dahulu. Dengan menebus atau tukar guling. Jika tidak maka tanah dan orang-orang itu beserta tanahnya, harus dikeluarkan dari areal HPL.
”Artinya, satu-satunya jalan yang berkeadilan untuk penyelesaian surat ijo adalah pencabutan SKHPL. Itu menjadi wewenang menteri ATR, dan itu sesuai dengan rekom kakanwil ATR jawa Timur pada 6 Mei 2020, juga Peraturan Menteri ATR No. 11 tahun 2016,” ungkap Faried. ”Jika dijanjikan surat ijo melalui mekanisme seuai PP 27 tahun 2014, maka itu akan ruwet, akan mencekik warga,” tutupnya. (why)