Surabaya (suararakyatjatim) – Warga Jeruk, Kelurahan Jeruk, Kecamatan Lakarsantri menuntut Pemkot Surabaya untuk membeber proses terjadinya ruislag (tukar guling) tanah ganjaran Jeruk seluas 79.000 meter persegi antara pemkot dengan PT Pakuwon. Ini lantaran warga merasa tak pernah dilibatkan atau diajak rembukan dalam ruislag tersebut.
“Kita tahu tanah ganjaran Jeruk itu sudah lepas ke PT Pakuwon dari petani. Bahkan, tanah tersebut sudah dipatoki, ” ujar warga Jeruk, Indra Kusuma, Senin (26/4/2021).
Kenapa kasus ini diadukan ke Komisi A DPRD Surabaya? Indra yang juga ketua Karang Taruna Kelurahan Jeruk, menuturkan, karena selama 12 tahun ini kasus tersebut menjadi fitnah di kampung Jeruk, bahwa tanah ganjaran tersebut dijual oleh pengurus lama.
“Makanya, kita ingin tahu proses awal siapa yang mengajukan,” ungkap dia.
Indra menjelaskan, target warga Jeruk bukan CSR dulu. Itu (CSR) bisa dibicarakan kalau memang sudah klir.
“Jadi, tujuan awal kita ini ingin tahu siapa yang mengajukan ruislag, karena warga tak dilibatkan sama sekali. Ya, kami menduga dalam ruislag ini ada rekayasa,”tandas dia.
Lebih jauh, dia menuturkan, saat rapat dengar pendapat pertama PT Pakuwon disuruh membawa legal data mulai dari permohonan awal sampai keluarnya surat keputusan (SK).
“Sekali lagi, kami ingin tahu siapa yang mengajukan ruislag. Jangan kan warga, pengurus kampung juga tidak tahu adanya proses ruislag tersebut. Selain itu, atas dasar apa PT Pakuwon ingin memiliki tanah ganjaran Jeruk itu,” tanya dia.
Hal senada diungkapkan warga Jeruk lainnya, Tarno. Dia menegaskan, jika tanah ganjaran Jeruk itu merupakan hasil babat alas atau jerih payah nenek moyang warga Jeruk.
“Makanya, warga kaget dan bertanya-tanya apa pelepasan tanah ganjaran itu ada permintaan dari lurah dan warga. Karena warga tak meyakini tanah ganjaran itu sudah lepas ke Pakuwon. Padahal, di wilayah lain kok tidak dilepas. Ini ada kesan tebang pilih, ” tegas dia.
Sementara Ketua Komisi A DPRD Kota Surabaya Pertiwi Ayu Krishna menuturkan, pada 2008 silam ada ruislag tanah ganjaran antara Pemkot Surabaya dengan pengusaha.
Bahkan, tanah ganjaran tersebut sudah dipansuskan dan segala macam dan diputuskan pada rapat paripurna di era Wali Kota Bambang DH.
Yang dipertanyakan warga, lanjut Ayu pada saat ruislag Citraland yang berselang 4-6 bulan berbeda dengan PT Pakuwon dalam hal ini PT Artistan yang mana dalam aturan tak ada lagi persetujuan dari warga.
“Citraland mungkin membayar seharusnya Rp 6 miliar misalnya, tapi hanya diberika Rp 4 miliar. Sisanya yang Rp 2 miliar mungkin untuk warga. Tapi di Pakuwon ternyata tidak, ” tutur dia kepada suararakyatjatim.com.
Politisi perempuan Partai Golkar Surabaya ini menerangkan, tanah hasil ruislag itu masih berupa tanah sawah dan lapangan sepak bola. Artinya, di sana belum ada pembangunan. Sementara warga sendiri belum tahu jika tanah ganjaran Jeruk sudah diruislag oleh Pemkot Surabaya.
Berdasarkan aturan, ruislag tanah ganjaran Jeruk itu sudah tak ada masalah. Karena sudah ada persetujuan DPRD Kota Surabaya dan sudah diparipurnakan.
“Yang dipersoalkan warga bukan itu. Warga tidak mendapat dampak dari ruislag tersebut. Karena itu, Komisi A akan membantu dan mengetuk hati pengusaha agar mereka bisa memberikan tali asih. Itupun enggak bisa memaksa, ” ungkap dia.
Ayu mengaku, jika warga menuntut lewat pengadilan itu sudah ranah hukum, bukan ranahnya Komisi A DPRD Surabaya.
Anggota Komisi A DPRD Surabaya, Josiah Michael menambahkan, secara formil ruislag tanah ganjaran Jeruk itu sudah melalui semua tahapan dan tidak diperlukan rembuk desa.
“Cuma persoalannya sikap developer yang tidak sama. Yang satu kulonuwun, yang satu arogan. Apalagi tanah tersebut memiliki keterikatan terhadap warga. Jadi, ini hanya tanggung jawab moril dari developer. Sedangkan tanggung jawab Pemkot untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di antara warga,” pungkas dia.(why)