suararakyatjatim.com – Pengukuran tanah di wilayah Jurang Kuping oleh instansi pemerintah dan Citraland menimbulkan reaksi warga Rejosari RW-03, Kelurahan Benowo, Kecamatan Pakal. Ini karena sebelumnya tidak ada pemberitahuan atau rembuk warga di Balai RW 03.
Hal ini disampaikan perwakilan warga yang tergabung dalam Forum Warga Rejosari RW 03 saat hearing di Komisi A DPRD Kota Surabaya dengan OPD terkait, Selasa (26/7/2022).
“Kami melakukan langkah positif agar tidak terjadi tindakan yang tidak kita inginkan bersama,”ujar Ketua Forum Warga Rejosari RW 03, Samiadji.
Dia menjelaskan, persoalan tanah yasan dan tanah bondo deso di wilayah Jurang Kuping adalah permasalahan lama dan sampai saat ini belum selesai atau terealisasi.
Berdasarkan keputusan Wali Kota Surabaya tertanggal 16 September 1989 Nomor:184 Tahun 1989, yang kemudian dicabut dan diganti dengan keputusan Wali Kota Surabaya tertanggal 15 April 1996, Nomor: 34 Tahun 1996 tentang Peruntukan Tanah Jalur Hijau Jurang Kuping dan sekitarnya di Kelurahan/Kecamatan Benowo untuk Lokasi Taman Satwa atau Kebun Binatang dan Bumi Perkemahan Pramuka, dengan memetakan tanah seluas kurang lebih 60 hektare (ha).
Dari jumlah tersebut, lanjut dia, seluas 43.509 meter persegi (M2) merupakan tanah kas desa (ganjaran) yang telah dilepas dan beralih menjadi hak penguasaan PT Cipta Astaka Surya. “Sisanya adalah tanah hak milik warga,”jelas Samiadji.
Samiadji mengatakan, keberatan warga itu bukan berarti warga tidak membantu program pemerintah, tapi yang diminta warga pemilik tanah itu agar Pemkot Surabaya meninjau kembali serta mendudukkan secara benar dan adil hak dan kewajiban para pihak yang terkait dalam program pemerintah. Ini agar tidak saling merugikan.
“Warga Rejosari tidak keberatan dengan program Pemkot Surabaya, yakni menjadikan Jurang Kuping sebagai tempat wisata, bumi perkemahan, hutan kota maupun yang lainnya. Tapi juga harus dipikirkan dampak-dampak negatif terhadap nasib para pemilik tanah yang sudah terjual dengan harga murah,” ungkapnya.
Menanggapi keluhan warga Rejosari ini, anggota Komisi A DPRD Kota Surabaya, Syaifuddin Zuhri mengatakan sebenarnya masalah Jurang Kuping ini kasus lama (1996). Faktanya, bahwa SK Wali Kota Nomor:34 Tahun 1996, sebenarnya peruntukan Jurang Kuping untuk area perkemahan, kebun binatang, hutan kota, dan lain-lain. Sehingga ada tambahan-tambahan tanah yasan milik warga Rejosari digunakan untuk mendukung area tersebut.
Tapi kemudian terjadi ruislag atau tukar guling antara Pemkot Surabaya dengan Citraland. Kemudian pihak Citraland memposisikan sebagian tanah, termasuk Jurang Kuping, yang berasal dari bondo deso atau ganjaran itu, masuk Surat Keterangan Rencana Kota (SKRK) Surabaya dalam kapasitas digunakan area makam atau tempat pemakaman umum (TPU).
“Padahal, meski masyarakat sana (Rejosari) dulu menjadikan Jurang Kuping menjadi area sakral, kini mereka menjadikan sebagai tempat atau sumber mata pencaharian,” kata dia.
Politisi PDI-P ini menjelaskan, dengan dibelinya kawasan Jurang Kuping oleh Pemkot Surabaya melalui SK Nomor:34 Tahun 1996, warga rela menjual tanahnya kalau memang digunakan untuk destinasi wisata.
Dengan kejadian warga Rejosari protes dan sampai mengadu ke Komisi A, lanjut dia, ini agar pembohongan yang pernah terjadi oleh SK Wali Kota Nomor: 34 Tahun 1996 terbongkar, sehingga sekarang warga menggugat. “Jadi area Jurang Kuping harus tetap dijadikan destinasi wisata,” tandas dia.
Di Jurang Kuping, kata Ipuk, panggilan Syaifuddin Zuhri ada pohon siwalan yang tak bisa dimiliki daerah lain. Karena butuh puluhan tahun untuk bisa tumbuh. Maka harapan masyarakat, kata dia, tidak boleh diserahkan menjadi makam dan pemkot untuk membangun daerah itu sebagai destinasi wisata.
“Sekarang ini kita tak punya bumi perkemahan. Dulu, semasa saya masih kecil, sering bermain dan berkemah di Jurang Kuping. Jadi harus ada area perkemahan sehingga nanti bisa menumbuhkan ekonomi baru di sana. Kalau dijadikan TPU otomatis kawasan tersebut akan mati,” tegas dia.(why)