suararakyatjatim.com – Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya menerbitkan surat edaran (SE) soal percepatan penanggulangan kasus TBC berbasis wilayah, dengan pemeriksaan intensif menyasar warga yang sudah punya dua jenis komorbid.
SE menindaklanjuti Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2021 tentang penanggulangan tuberkulosis itu, dikeluarkan per-18 September 2023 lalu.
Eri Cahyadi Wali Kota Surabaya menyebut, selain penyebarluasan informasi benar mengenai TBC ke masyarakat melalui keterlibatan tokoh hingga satgas TBC kecamatan, juga harus diimbangi penemuan pasien.
“Kita juga harus mendorong peningkatan kesadaran dan kewaspadaan masyarakat melalui penerapan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas) dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) secara masif dan berkelanjutan serta mengevaluasi pelaksanaan PHBS dan Germas di masing-masing wilayah,” kata Eri, Kamis (21/9/2023).
Eri minta, penemuan pasien TBC dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan dengan kegiatan kolaborasi berupa pemeriksaan TBC yang menyasar dua jenis komorbid, yaitu penderita HIV, dan penderita DM (Diabetes Melitus).
Selain komorbid, pemeriksaan juga menyasar balita stunting maupun pra-stunting, dan gizi buruk melalui posyandu balita.
“Penemuan pasien TBC secara aktif dan masif berbasis keluarga dan masyarakat, didukung oleh peran kader dari posyandu, satgas TBC, tokoh masyarakat, dan tokoh agama. Kegiatan ini dapat berupa investigasi kontak minimal delapan orang bagi yang memiliki riwayat kontak erat dengan pasien TBC, penemuan di tempat khusus seperti tempat kerja, sekolah, asrama, rumah susun, pondok pesantren, panti asuhan dan panti jompo, dan penemuan TBC pada populasi berisiko, dan tempat penampungan pengungsi dan daerah padat kumuh,” tegasnya.
Sementara untuk pengendalian faktor risiko, lanjutnya, akan dilakukan dengan cara memberikan nutrisi tambahan untuk pasien TBC dan keluarga pasien terdampak kurang mampu yang rentan tertular TBC.
Kemudian, mengintervensi perubahan perilaku masyarakat dengan pemberian penyuluhan kepada semua pasien TBC, keluarga, dan masyarakat terdampak terkait pencegahan secara benar.
“Lalu faktor resiko juga bisa dilakukan dengan meningkatkan kualitas rumah tempat tinggal pasien TB, perumahan, dan pemukiman melalui Rumah Tidak Layak Huni (Rutilahu), melakukan pencegahan dan pengendalian infeksi TBC di Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan ruang public, dan/atau mengajak dan mendampingi pasien TBC yang mangkir berobat untuk kembali melanjutkan pengobatan sampai dengan sembuh (tuntas),” katanya.
Selain itu, mengoptimalkan Terapi Pencegahan TBC (TPT) bagi kelompok sasaran berisiko, mulai dari orang dengan HIV/AIDS (ODHA), kontak serumah dengan pasien paru yang terkonfirmasi bakteriologis, dan kelompok risiko lainnya dengan HIV negatif. Serta, Warga Binaan Permasyarakatan (WBP), petugas kesehatan, sekolah berasrama, barak militer, pengguna narkoba suntik.
Dalam pengobatan, sambung Eri, pasien TBC juga mempunyai akses untuk mendapatkan pendampingan dari keluarga, komunitas, dan tenaga kesehatan, dukungan psikologis, sosial, dan ekonomi yang diberikan oleh pemerintah daerah dan non pemerintah.
“Pengusaha dan pengurus wajib melaksanakan penanggulangan TBC di tempat kerja sebagai upaya keselamatan dan kesehatan kerja yang diselenggarakan oleh unit pelayanan kesehatan kerja,” ujarnya.(why)