Surabaya(suararakyatjatim) – Kekhawatiran terhadap munculnya gelombang ketiga virus corona varian Delta yang disebut Delta Plus membuat Sekretaris Umum (Sekum) PP Muhammadiyah Prof. Abdul Mu’ti mendorong program vaksinasi dimasifkan.
Dukungan berbagai pihak untuk vaksinasi ini sangat diperlukan, terutama untuk beberapa kelompok yang anti vaksin yang bisa menghambat vaksin dengan beberapa alasan, seperti teologis dan politis.
“Ini perlu pendekatan tidak semata-mata hanya informasi, tapi perlu peran semua pihak. Jadi peran publik figur diperlukan, misalnya pendekatan semesta yang partisipatif,” ujarnya dalam Webinar PPKM dan Vaksin untuk Indonesia Bangkit dari Pandemi, Jumat (30/7) sore.
Menurutnya, pendekatan persuasif dan humanis akan lebih diterima oleh masyarakat. Jangan sampai gara-gara covid-19 menyebabkan pertengakaran. Peran berbagai lembaga untuk menyampaikan edukasi kepada masyarakat sangat penting.
Prof. Abdul Mu’ti menegaskan, untuk situasi saat ini, solusi yang paling mungkin adalah vaksinasi. Tapi program ini tidak semudah yang dibayangkan, sebab ada kendala-kendala yang harus dihadapi. Diantaranya kesulitan akses mendapatkan vaksin, dan kendala vaksin tidak mudah didapatkan
“Saya dapat kabar yang banyak beredar di medsos, dan harus cek dan ricek, banyak vaksin yang sudah dibeli kadaluarsa karena terlalu lama disimpan. Karena prosedur mendapatkan vaksin sangat struktural, beberapa memang dapat akses langsung, tapi sebagian tidak. Kemudahan untuk semua bisa vaksin itu penting, semua harus bisa vaksin dimana saja, tidak harus sesuai dengan alamat KTP,” tegasnya.
Publik figur Ramzi yang ikut berbicara pada webinar melalui kanal youtube dan zoom meeting itu menambahkan, hingga saat ini masyarakat terbagi kepada beberapa kelompok. Ada barisan yang tidak percaya terhadap covid-19 meskipun samar-samar. Bahkan ada beberapa artis yang masa bodoh dengan covid-19.
“Ada kesempatan dari pemerintah, tapi masih kurang greget. Ada beberapa teman artis, masa bodohlah yang penting gue kerja. Jadi ini semua punya kewajiban meluruskan yang bengkok-bengkok,” terangnya
Ramzi mengaku, walaupun tidak memiliki kewajiban meyakinkan orang yang tidak percaya covid-19 dan masih dikaitkan dengan pilpres, tapi dia terpanggil untuk menjelaskan karena pada akhirnya ada tudingan jualan vaksin. “Karena ada rasa ketidak percayaan kepada pemimpin, imbasnya korbankan pemikrirannya untuk urusan covid jadi lalai,” ucapnya.
Kebijakan PPKM dipandang sebagai upaya agar penularan covid-19 bisa dikendalikan. Meski begitu, masih muncul narasi bahwa PPKM membuat penjual pinggir jalan drop dan banyak yang merasakan dampaknya.
“Ada narasi yang ngak enak, enak yang punya uang yang ngak punya uang blangsak, kita-kita terkadang terpengaruh. Kalau semuanya percaya corona, yakin dengan PPKM ngak ada masalah,” jelasnya.
Menurut Ramzi, PPKM dirasakan oleh masyarakat seperti tebang pilih. Karena ada yang mendapat sanksi hukum dan ada yang tidak. Belum lagi keberadaan Satpol PP yang terkadang jadi bumerang.
Terkait dengan vaksin, Ramzi memandang ada dua tipologi masyarakat. Pertama, kalangan intelektual dan ekonomi bagus. Dimana mereka masih menunggu vaksin yang benar-benar berkualitas menurut mereka sendiri. Kedua, mereka tidak mau vaksin karena tidak percaya covid-19, tidak percaya PPKM, dan pada akhirnya memandang ada skenario jualan vaksin.
Sementara itu, Heri Sucipto, Direktur Eksekutif Moya Institute memandang, Kemenkominfo perlu ambil peran dalam memberikan informasi kepada masyarakat. Sebab, selama ini ada masalah dalam komunikasi istana.
“Pemerintah banyak yang bicara tapi kadang simpang siur, saya kira ini membingungkan, informasi kalau sejalan dan selaras ngak jadi masalah, yang jadi masalah setiap yang bicara informasinya berbeda,” katanya.
Dia menilai, publik saat ini dalam kondisi bingung. Karenanya, perlu kiranya informasi satu atap. “Saya apresiasi di satu sisi, tapi harus ada pembenahan komunikasi, semua kendali tetap di presiden, pembagian tugas untuk Pak Luhut dan Pak Airlangga itu hanya soal teknis,” tandasnya.(why)